Padahal selama ini pemerintah selalu ngotot bahwa ekonomi masih
terkendali. Bahkan Presiden Jokowi pernah menjanjikan ekonomi, ekonomi
akan meroket tinggi. Presiden juga tak malu-malu berpidato di
forum internasional bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi ketiga
se-dunia, meskipun akhirnya dikoreksi setelah dikritik oleh ekonom Hong
Kong.
Jurus melego aset merupakan jalan pintas orang kepepet.
Demikian halnya yang saat ini dilakukan oleh pemerintah, tak lebih
menggambarkan kondisi pemerintah yg no money. Jika ekonomi baik-baik
saja dan duit melimpah, maka tidak akan muncul pikiran pendek melego
aset strategis.
Sebelum geger-geger melego aset, pemerintah juga
rajin keliling dunia mencari hutang, meskipun dibungkus dalam bahasa
yang lebih sopan "mencari investor". Nyatanya, adalah mencari hutang!!!
Dunia tak merespon, kecuali China, yang bersedia memberi pinjaman dan
menanamkan duitnya di Indonesia. Tapi jangan gembira dulu, China mematok
persyaratan seabrek. Diantaranya Indonesia harus menerima TKA China.
Maka lihatlah TKA China membanjir ke Indonesia.
Tapi, tak semua proyek China berjalan mulus. Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung mangkrak tanpa kejelasan kelanjutannya.
Setelah, memggenjot utang, pemerintah juga menggenjot pajak. Seabrek
jaring menggait pajak dilembarkan ke publik diantaranya tax amnesty, ppn
terhadap petani tebu, keleluasaan mengintip data nasabah bank, dan
lain-lain. Namun tetap saja gagal mengerek penerimaan pajak.
Hingga akhir Oktober 2017, pajak yang terkumpul baru 858 triliun dari
target yang ditetapkan sebesar Rp 1.238,6 triliun. Bayangkan, masih
kurang Rp 425,5 triliun.
Mampukah pemerintah mengumpulkan Rp
425,5 triliun hanya dalam tempo 2 bulan? Jelas sebuah mission
impossible. Jika pemerintah gagal mengumpulkan Rp 425,5 triliun, maka
ruang fiskal akan terganggu. Pasalnya, saat ini belanja pemerintah lah
yang diharapkan menjadi stimulator untuk menggerakkan perekenomian
nasional.
Konsumsi masyarakat yang tadinya selalu terdepan
mengerek pertumbuhan nasional juga sedang menunjukkan tren penurunan.
Maka hanya kepada pemerintah lah harapan itu ditambatkan.
Sayang,
duit di kas kering kerontang. Pajak meleset jauh dari yang diharapkan.
Maka satu-satunya jalan adalah mengobral aset-aset yang di miliki.
Akhirnya jurus dewa mabuk pun dipakai juga.
Ide jual aset pertama
kali dilontarkan oleh Presiden Jokowi. Sepintas ide tersebut memang
masuk akal, namun jika dicermati itu bagaikan jurus dewa mabuk yang
sedang kalap. Karena bangsa yang hebat adalah bangsa yang memiliki
banyak aset, bukan yang pintar jual aset.
Perintah presiden untuk
melego aset segera ditindaklanjuti para menteri. Menteri BUMN langsung
perintahkan Waskita untuk menjual Tol Becakayu yang baru saja
diresmikan.
Menteri Perhubungan juga mewacanakan mengalihkan
operasional sejumlah bandara dan pelabuhan penting ke pihak swasta.
Modus itu ditutupi dengan argumen untuk menciptakan pelabuhan mandiri
dan tidak membebani APBN.
Sebagaimana argumen Presiden Jokowi,
argumen Menteri Perhubungan juga selintas ada benarnya juga. Lagi-lagi
setelah ditelusuri, ini hanya akal-akalan semata demi mendapatkan cash
money.
Logikanya, hanya orang-orang kepepet saja yang akan melego
asetnya kepada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang memiliki duit
cukup atau bahkan berlimpah, akan berlomba-lomba memborong aset.
Namun untuk menutupi kebohongan, berbagai argumen yang seakan masuk akal
terus diproduksi untuk mengelabuhi publik. Padahal, rakyat yang tidak
sekolah pun akan paham jika pemerintah menjual aset, itu artinya
pemerintah tidak punya duit.
Tapi, apakah melego aset merupakan
solusi yang tepat untuk mengatasi seretnya kas pemerintah. Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa duit APBN habis disedot untuk bayar hutang
beserta bunganya.
Setelah mengamati secara mendalam kebijakan
pemerintah, ternyata Kabinet Kerja hanya berakal pendek. Tidak mau
berpikir dan bekerja keras. Selalu solusi jangka pendek yang diandalkan,
yaitu : menumpuk hutang untuk bayar hutang yang jatuh tempo, memeras
pajak dari rakyat, dan melego aset strategis bangsa.
Bila
kebijakan tersebut terus-menerus dipaksakan, bukan tidak mungkin
Indonesia akan terjerumus ke dalam krisis ekonomi. Sebelum situasi buruk
itu terjadi, Presiden Jokowi harus menghentikan ide penjualan aset
strategis.
Melego aset strategis, selain merugikan secara
ekonomi, juga melanggar konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 dengan jelas
menyebutkan : 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan; 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Harus ditempuh upaya yang
lebih komprehensif dalam mengatasi seretnya kas pemerintah. Diantara
langkah yang bisa ditempuh adalah: penjadwalan ulang hutang-hutang yang
jatuh tempo, bila perlu mengajukan penghapusan hutang, menggenjot pajak
kepada korporasi-korporasi raksasa yang selama ini membandel dan membuka
komunikasi yang lebih intensif dengan negara-negara selain China.
Moh. Nizar Zahro
Penulis adalah Ketua DPP Partai Gerindra/Anggota Komisi V DPR RI/Ketua Umum SATRIA Gerindra.